Memahami Rukun Islam Tentang Keluarga
A. Ketentuan Hukum Islam tentang Pernikahan
1. Pengertian Nikah
Menurut
bahasa nikah berarti menghimpun, mengumpulkan. Sedangkan menurut istilah, nikah
adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan perempuan
yang bukan muhrim sebagai suami istri dengan tujuan untuk membina suatu rumah
tangga yang bahagia berdasarkan tuntunan Allah SWT.
Menurut
undang-undang no.1 tahun 1974 tentang perkawinan. Perkawinan yaitu ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perintah untuk
melaksankan nikah terdapat dalam Al Qur’an surat Ar Rum (30) ayat 21 sebagai
berikut :
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt ÇËÊÈ
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.(Q.S. Ar Rum (30) :
21 ).
Dan juga hadits Nabi SAW yang artinya : “Wahai para
pemuda, barang siapa di antara kamu telah sanggup menikah, maka hendaklah dia
menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata
dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, hendaklah
dia berpuasa, karena puasa itu penjaga baginya”. ( H.R. Bukhori dan Muslim )
2.
Hukum Nikah
Pada
dasarnya hukum nikah adalah mubah. Jika dilihat dari situasi dan kondisi dan
niat seseorang yang akan menikah, maka hukum nikah dapat dibedakan sebagai
berikut :
a. Wajib
Yaitu bagi seseorang yang sudah mampu dan sudah memenuhi syarat, serta khawatir akan terjerumus melakukan perbuatan dosa besar jika tidak segera menikah.
Yaitu bagi seseorang yang sudah mampu dan sudah memenuhi syarat, serta khawatir akan terjerumus melakukan perbuatan dosa besar jika tidak segera menikah.
b.
Sunnah
Yaitu bagi seseorang yang sudah mampu
untuk berumah tangga, mempunyai keinginan (niat) nikah dan apabila tidak
melaksankan nikah masih mampu menahan dirinya dari perbuatan dosa besar (zina).
Jumhur
ulama’ sepakat bahwa hukum asal pernikahan adalah sunnah. Mereka berdasarkan
pada firman Allah Q.S An Nur 24(32).
(#qßsÅ3Rr&ur 4yJ»tF{$# óOä3ZÏB tûüÅsÎ=»¢Á9$#ur ô`ÏB ö/ä.Ï$t6Ïã öNà6ͬ!$tBÎ)ur 4 bÎ) (#qçRqä3t uä!#ts)èù ãNÎgÏYøóã ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 ª!$#ur ììźur ÒOÎ=tæ ÇÌËÈ
Artinya : Dan
kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
(berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.
c.
Mubah
Bagi seseorang yang telah mempunyai keinginan
menikah, tetapi belum mampu mendirikan rumah tangga atau belum mempunyai
keinginan menikah, tetapi sudah mampu mendirikan rumah tangga.
d. Makruh
Bagi seseorang yang belum mampu atau belum mempunyai
bekal medirikan rumah tangga.
e. Haram
Bagi seeorang yang bermaksud tidak akan menjalankan
kewajibannya sebagai suami atau istri yang baik.
3. Rukun Nikah
a. Adanya calon suami
Syarat-syarat
calon suami adalah :
1. Beragama Islam
2. Laki-laki
3. Tidak karena terpaksa
4. Bukan muhrim dengan calon istri
5. Tidak sedang ihrom haji atau umroh
1. Beragama Islam
2. Laki-laki
3. Tidak karena terpaksa
4. Bukan muhrim dengan calon istri
5. Tidak sedang ihrom haji atau umroh
b.
Adanya calon istri
Syarat-syarat colon istri
adalah :
1. Beragama Islam
2. Perempuan sejati
3. Bukan muhrim dengan calon suami
4. Tidang sedang bersuami atau sedang menjalani masa iddah
5. Tidak sedang ihrom haji atau umroh
1. Beragama Islam
2. Perempuan sejati
3. Bukan muhrim dengan calon suami
4. Tidang sedang bersuami atau sedang menjalani masa iddah
5. Tidak sedang ihrom haji atau umroh
c.
Adanya Wali
Syarat-syarat untuk
menjadi wali adalah :
1. Beragama Islam
2. Laki-laki
3. Sudah balig atau dewasa
4. Berakal sehat
5. Tidak sedang haji atau umroh
6. Tidak sedang dicabut hak perwaliannnya
7. Tidak dipaksa dan tidak fasiq
2. Laki-laki
3. Sudah balig atau dewasa
4. Berakal sehat
5. Tidak sedang haji atau umroh
6. Tidak sedang dicabut hak perwaliannnya
7. Tidak dipaksa dan tidak fasiq
Adapun orang-orang yang berhak menjadi wali dalam pernikahan secara berurutan sebagai berikut :
1. Ayah kandung
2. Kakek dari pihak ayah
3. Saudara laki-laki sekandung
4. Saudara laki-laki seayah
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
6. anka laki-laki saudara laki-laki seayah
7. Paman dari pihak ayah
8. Anak laki-laki paman dari pihak ayah
9. Hakim. Yaitu jika wali dari nomer 1 – 8 tidak ada semua atau ada tetapi berhalangan hadir atau ada tetapi menyerahkan kepada hakim.
2. Kakek dari pihak ayah
3. Saudara laki-laki sekandung
4. Saudara laki-laki seayah
5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
6. anka laki-laki saudara laki-laki seayah
7. Paman dari pihak ayah
8. Anak laki-laki paman dari pihak ayah
9. Hakim. Yaitu jika wali dari nomer 1 – 8 tidak ada semua atau ada tetapi berhalangan hadir atau ada tetapi menyerahkan kepada hakim.
d. Adanya dua orang
saksi
Syarat-syarat menjadi
saksi dalam pernikahan adalah :
1. Beragama Islam
2. Laki-laki
3. Minimal dua orang
4. Berakal sehat
5. Merdeka
6. Dapat mendengar, melihat dan berbicara
7. Orang yang adil
2. Laki-laki
3. Minimal dua orang
4. Berakal sehat
5. Merdeka
6. Dapat mendengar, melihat dan berbicara
7. Orang yang adil
e. Adanya ijab dan
kabul
Syart-syarat ijab dan kabul adalah :
1. Dengan kata-kata tertentu dan tegas, yaitu
kata nikah, tajwij atau terjemahnya
2. Diucapkan oleh wali atau yang mewakili dan dijawab oleh mempelai laki-laki
3. Antara kata ijab dan kabul harus langsung (muwalah) tidak ada batas waktu.
4. Tidak dengan kata sindiran atau tulisan yang tidak dapat terbaca.
5. Lafal ijab dan kabul harus dapat didengar, baik oleh yang bersangkutan, wali maupun saksi.
6. Lafal ijab dan kabul harus sesuai.
2. Diucapkan oleh wali atau yang mewakili dan dijawab oleh mempelai laki-laki
3. Antara kata ijab dan kabul harus langsung (muwalah) tidak ada batas waktu.
4. Tidak dengan kata sindiran atau tulisan yang tidak dapat terbaca.
5. Lafal ijab dan kabul harus dapat didengar, baik oleh yang bersangkutan, wali maupun saksi.
6. Lafal ijab dan kabul harus sesuai.
4
.Pengertian Dan Hukum Khitbah
Yang di
maksud khitbah atau meminang adalah pernyataan atau ajakan untuk menikah dari
pihak laki-laki terhadap pihak perempuan.
Sedangkan
hukum meminang adalah boleh ( Mubah ) dengan ketentuan-ketentuan sebagai
berikut :
1. Perempuan yang di pinang harus
memenuhi syarat sebagai berikut :
a.
Tidak
terakat oleh akad pernikahan.
b.
Tidak berada
dalam masa iddah talak raj’i
c.
Bukan
pinangan laki-laki lain.
2. Cara mengajukan pinangan
a.
Pinangan
kepada gadis atau janda yang sudah habis masa iddahnya boleh di nyatakan secara
terang-terangan.
b.
Pinangan
janda yang yang masih dalam talak bain atau iddah di tinggsl wafat suaminya,
tidak boleh di nyatakan secara terang-terangan. Pinangan terhadap mereka hanya
boleh dilakukan secara sendiri saja.
5. Melihaat Wanita Yang Akan Di Nikahi
Melihat wanita yang akan di nikahi,
di anjurkan bahkan di sunnahkan agama. Melihat calon istri untuk mengetahui
penampilan Dan kecantikannya, di pandang perlu untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang bahagia sekaligus menghindari penyesalan setelah menikah.
6. Prinsip Kafa’ah Dalam Pernikahan
Menurut bahasa kafa’ah adalah
serupa, seimbang, atau serasi, menurut istilah adalah keseimbangan Dan
keserasian antara calon istri Dan suami , baik dalam kedudukan, status sosial,
akhlak maupun kekayaannya, sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk
melangsungkan perkawinan.
7. Pengertian Mahram Nikah Dan
Pembagiannya
Yang di maksud mahram adalah
perempuan-perempuan yang haram atau tidak boleh dinikahi, baik di
sebabkan oleh factor keturunan, persusuan maupun perkawinan.
a. Factor perkawinan
-
Ibu
-
Ibu dari ibu
( nenek )Dan seterusnya ke atas
-
Anak, cucu,
Dan seterusnya ke bawah.
-
Saudara
perempuan kandung, saudara perempuan seayah, Dan saudara seibu.
-
Saudara
perempuan ayah.
-
Saudara
perempuan ibu.
-
Anak
perempuan dari saudara laki-laki Dan seterusnya ke bawah.
-
Anak
perempuan dari saudara perempuan Dan seterusnya kebawah.
b. Factor
persusuan
-
Ibu yang
menyusui
-
Saudara
perempuan sepersusuan
c. Factor perkawinan
-
Ibu Dan
istri ( mertua )
-
Anak tiri
jika ibunya sudah di gauli
-
Istri dari
anak ( menantu )
-
Istri bapak
( Ibu Tiri )
B. Talak ( Perceraian )
Menurut bahasa berarti melepas ikatan, meninggalkan
dan memisahkan. Sedangkan menurut istilah, talak adalah putusnya tali
pernikahan yang telah dijalin suami istri. Dalam agama Islam talak merupakan
jalan terakhir, apabila pernikahan sudah tidak mungkin lagi dapat dipertahankan
sedangkan jalan damai sudah tidak ditemukan lagi. Sabda Rosul SAW yang artinya
: “Sesuatu yang halal yang amat dibenci Allah ialah talak” (H.R. Abu Dawud dan
Ibnu Majah )
1.
Macam-macam talak :
a. Talak Roj’i ; yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya
kurang dari tiga kali. Pada talak ini seorang suami masih diperbolehkan rujuk
kembali tidak melalui akad nikah dan mahar baru selama masih dalam masa iddah.
b. Talak Ba’in ; yaitu tolak yang dijatuhkan suami
terhadap istrinya tiga kali atau lebih. Pada talak ini suami tidak boleh rujuk
kembali kecuali adanya muhallil.
2.
Hal-hal Yang Menyebabkan Rusaknya Ikatan Pernikahan.
1). Ila’
Yaitu
sumpah seorang suami yang menyatakan bahwa dia tidak akan menggauli istrinya
selama empat bulan atau lebih. Akibat dari ila’ adalah suami tidak boleh
menggauli istrinya, kecuali setelah membayar kafarat. Adapun kafarot ila’
adalah; memerdekakan budak, jika tidak mampu memberi makan kepada fakir miskin,
jika tidak mampu berpuasa tiga hari.
2).
Li’an
Tuduhan
seorang suami dengan disertai bersumpah atas nama Allah, bahwa istrinya telah
berbuat zina, sumpah tersebut diucapkan sekurang-kurangnya empat kali, kemudian
pihak istri membela dengan mengangkat sumpah bahwa dirinya tidak pernah
melakukan seperti yang dituduhkan suaminya. Menurut jumhurul ulama’ akibat
li’an suami tidak boleh rujuk atau menikah kembali terhadap mantan istrinya
untuk selama-lamanya.
3).
Khulu’
Gugatan seorang istri untuk minta diceraikan oleh
suaminya, dengan cara pihak istri memberikan tebusan (iwadh) kepada suaminya.
Akibat dari khuluk adalah menjadi tolak ba’in jika seluruh ganti rugi/ganti
rugi terpenuhi, dan jika ganti rugi tidak terpenuhi maka menjadi tolak biasa.
4).
Fasakh
Yaitu batalnya akad atau lepasnya ikatan pernikahan
antar suami istri yang disebabkan karena adanya cacat atau kerusakan pada akad
itu sendiri, atau disebabkan hal-hal yang datang kemudian yang menyebabkan akad
tidak dapat dilanjutkan.
Fasakh yang disebabkan karena cacat hukum antara lain :
Fasakh yang disebabkan karena cacat hukum antara lain :
a. Setelah akad dilakukan, dikemudian hari diketahui
pasangan suami istri ditemukan adanya cacat hukum misalnya suami istri ternyata
masih muhrimnya.
b. Anak yang belum balig dinikahkan oleh walinya,
yang bukan ayah kandungnya atau kakeknya. Kemudian setelah dewasa, anak
tersebut memilih tidak melanjutkan pernikahannya.
Sedangkan fasakh yang disebabakan sesuatu yang
datang kemudian, sehingga akad tidak bisa dilanjutkan antara lain :
a. Apabila setelah pernikahan suami atau istri
menyatakan keluar dari agama Islam (murtad).
b. Salah satu suami atau istri masih musyrik, karena
laki-laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita musyrik dan sebaliknya.
C. Rujuk
Rujuk adalah kembalinya suami istri pada ikatan
pernikahan setelah terjadi talak roj’i dan masih dalam masa iddah. Rujuk itu
tidak memerlukan akad nikah lagi, cukup suami menyatakan niatnya untuk kembali
kepada istrinya yang telah diceraikan.
Pada
dasarnya hukum rujuk adalah jaiz (boleh). Tetapi jika dilihat dari kondisi dan
niat seseorang maka hukum rujuk dibedakan sebagai berikut :
a. Sunah, Jika suami bermaksud memperbaiki keluarganya dan rujuk
dipandang lebih menguntungkan kedua belah pihak.
b. Wajib, bagi suami yang menceraikan istrinya sebelum dia
menyempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang ditalaknya.
c. Makruh, apabila perceraian itu dianggap lebih baik dan bermanfaat
bagi keduanya.
d. Haram, Jika suami memiliki maksud menyakiti istrinya setelah ia
rujuk.
D. Hikmah Pernikahan
a. Untuk memenuhi kebutuhan biologis manusia
dengan cara yang suci dan halal
b. Untuk memelihara kesucian dan kehormatan
dari perbuatan zina
c. Untuk membentuk rumah tangga yang Islami
yang sejahtera lahir dan batin
d. Untuk mendidik anak-anak menjadi mulia,
melestarikan hidup manusia, dan memelihara nasab.
e. mengikuti sunnah Rasul dan untuk
meningkatkan ibadah kepada Allah SWT
f. Untuk mencari keturunan yang soleh dan
berakhlak mulia.
g. Mendidik dan memberi motivasi kepada
seseorang agar memiliki rasa tanggung jawab, dalam memelihara dan mendidik
anak-anaknya.
h. Memberi rasa tanggung jawab terhadap suami
istri yang selama ini dipikul oleh masing-masing pihak.
i. Menyatukan keluarga masing-masing pihak,
sehingga hubungan silaturahmi semakin kuat dan terbentuk keluarga baru yang
lebih banyak.
E. Ketentuan Perkawinan Di Indonesia
1. Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan
Beberapa
hal yang diatur dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
antara lain :
a.
Pencatatan Perkawinan
Pasal 2
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-msing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan undang-undang yang
berlaku.
b.
Larangan Perkawinan
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun
keatas.
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan
saudara neneknya.
3) Berhubungan simenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan
ibu/bapak tiri.
4) Berubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan, dan bibi/paman susuan.
5) Berubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan
dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.
c. Batalnya Perkawinan
Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pasal 23
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu ;
1) Para keluaraga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau
istri
2) Suami atau istri
3) Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
4) Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 undang-undang ini
dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap
perkawinan tersebut, tetap hanya setelah perkawinan itu putus.
d. Putusnya Perkawinan
Pasal : 38
Perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian
b. Perceraian, dan
c. Atas keputusan pengadilan.
a. Kematian
b. Perceraian, dan
c. Atas keputusan pengadilan.
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi hukum islam
yang mengatur tentang perkawinan ada tiga buku. Buku I tentang hukum
perkawinan, buku II tentang hukum kewarisan dan buku III mengatur tentang hukum
perwakafan.
Secara garis besar isi KHI buku I sebagai berikut :
a. Tujuan perkawinan pasal 3 bab II, yaitu bahwa perkawinan bertujuan
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
b. Pencatatatan perkawinan pasal 5 : (1) dan (2), pasal 6 : (1), (2).
c. Batalnya perkawinan pasal 70 : (a), (b), (c), (d) dan (e), pasal 72
: (a), (b), dan (c).
d. Putusnya perkawinan; pasal 113 : (a), (b), dan (c), pasal 114 , dan
pasal 115.
e. Alasan perceraian ; pasal 116.
F. Kesimpulan
Menurut bahasa nikah berarti menghimpun, mengumpulkan. Sedangkan menurut
istilah, nikah adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki
dengan perempuan yang bukan muhrim sebagai suami istri dengan tujuan untuk
membina suatu rumah tangga yang bahagia berdasarkan tuntunan Allah SWT.
Rukun Nikah:
1. Beragama Islam
2. Tidak karena terpaksa
3. Bukan muhrim dengan calon Suami
Atau Istri
4. Untuk Istri tidak dalam masa idah
dan masih bersuami
5. Tidak sedang ihrom haji atau umroh
DAFTAR PUSTAKA
Djedjen
Zainuddin, Mundzier Suparta, pendidikan agama islam ( Fiqih ), Semarang
: PT Karya Toha Putra, 2010.
Karim,
Sholih Zuhri, Fiqih Kurikulum berbasis kompetensi (KBK), Surabaya
: Milik kanwil Departemen Agama profinsi Jawa Timur, 2005.
Al-Ustadz Al-Khafif, Dalam Kitabnya Yang Berjudul FiraqAl Zaqaj
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta : Lentera,
2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar